PENERAPAN KAMERA VIRTUAL DALAM MENCIPTAKAN ATMOSFER MENEGANGKAN PADA FILM PENDEK ANIMASI HOROR “KERIS PENGUNCI KEGELAPAN”

Penelitian penciptaan ini mengkaji penerapan teknik sinematografi virtual untuk membangun atmosfer menegangkan dalam film pendek animasi horor berjudul “Keris Pengunci Kegelapan”. Latar belakang proyek ini adalah adanya penurunan minat dan pengetahuan generasi muda terhadap warisan budaya Indonesia, khususnya Keris, yang terkonfirmasi melalui data kuesioner pra-produksi di mana 62,96% responden siswa SMP menyatakan pengetahuan mereka tidak cukup. Film ini dirancang sebagai solusi kreatif untuk merekontekstualisasi Keris melalui media yang populer di kalangan remaja. Metode penciptaan karya seni ini mengikuti alur pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi. Tahap pra-produksi berfokus pada perancangan narasi dan visual melalui penulisan naskah dan pembuatan storyboard. Tahap produksi melibatkan kolaborasi tim untuk merealisasikan konsep menjadi karya animasi. Tahap pasca-produksi berfokus pada evaluasi melalui screening dan kuesioner kuantitatif terhadap 22 responden. Hasil analisis data pasca-produksi menunjukkan bahwa penerapan teknik sinematografi horor—seperti low angle, dutch angle, dan pencahayaan kontras tinggi—berhasil menciptakan ketegangan, yang divalidasi oleh tingginya persetujuan responden terhadap pertanyaan terkait atmosfer horor. Lebih signifikan lagi, 86,3% responden setuju bahwa film ini berhasil meningkatkan apresiasi mereka terhadap nilai budaya Keris. Simpulan dari kajian ini adalah sinematografi virtual merupakan elemen kunci yang efektif dalam mendukung emosi dan atmosfer cerita horor, dan genre ini dapat berfungsi sebagai medium yang kuat untuk komunikasi dan pelestarian budaya.

________________________________________

This practice-led research examines the application of virtual cinematography techniques to build a tense atmosphere in the animated horror short film titled “Keris Pengunci Kegelapan” (The Darkness-Locking Keris). The project was initiated in response to the declining interest and knowledge among the younger generation regarding Indonesian cultural heritage, specifically the Keris, a fact confirmed by pre-production questionnaire data where 62.96% of junior high school respondents stated their knowledge was insufficient. The film was designed as a creative solution to recontextualize the Keris through a medium popular among teenagers. This artistic creation method follows a pre-production, production, and post-production workflow. The pre-production phase focused on narrative and visual design through scriptwriting and storyboarding. The production phase involved team collaboration to realize the concept into an animated work. The post-production phase centered on evaluation through a screening and a quantitative questionnaire administered to 22 respondents. The analysis of post-production data indicates that the application of horror cinematography techniques—such as low angles, Dutch angles, and high-contrast lighting—successfully created tension, validated by high respondent agreement on questions related to the horror atmosphere. More significantly, 86.3% of respondents agreed that the film successfully increased their appreciation for the cultural value of the Keris. This study concludes that virtual cinematography is a key and effective element in supporting the emotion and atmosphere of a horror story, and that this genre can serve as a powerful medium for cultural communication and preservation.